Konawe Selatan, dmtNews — Supriyani, seorang guru honorer dari SD Negeri 4 Baito di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, kini menghadapi persidangan atas dugaan penganiayaan terhadap muridnya—tuduhan yang dibantahnya sejak awal. Kasus Supriyani pun menyita perhatian publik dan menimbulkan pertanyaan besar mengenai perlindungan hukum bagi guru yang kini dianggap semakin rentan menghadapi pidana dalam menjalankan tugas mendidik.
Supriyani dilaporkan oleh Aipda Wibowo Hasyim, seorang polisi sekaligus orang tua dari murid yang diduga terkena pukulan sapu ijuk di bagian paha. Wibowo mengklaim insiden ini terjadi pada 24 April lalu dan menyebabkan luka pada anaknya. Namun, pihak Supriyani dan sekolah menegaskan bahwa tindakan tersebut tidak pernah terjadi. Persidangan Supriyani di Pengadilan Negeri Andoolo pada Kamis (24/10) pun berlangsung dengan dukungan solidaritas dari rekan-rekannya sesama guru yang prihatin akan posisi rentan profesi mereka.
Seruan Penyelesaian di Luar Pengadilan
Asep Iwan Iriawan, mantan hakim yang kini menjadi dosen di Universitas Trisakti, mengungkapkan bahwa seharusnya permasalahan disiplin yang terjadi di sekolah tidak langsung dibawa ke ranah pidana. “Semangatnya bukan memenjarakan guru. Jangan semua urusan dibawa ke ranah hukum,” ujarnya. Ia menyarankan agar pendekatan restoratif menjadi solusi, dengan melibatkan guru, orang tua, dan pihak sekolah untuk menyelesaikan permasalahan melalui perdamaian.
Menurut pihak kepolisian, Polsek Baito sebenarnya telah mencoba mempertemukan Supriyani dengan pihak pelapor hingga lima kali untuk mencapai kesepakatan damai. Namun, mediasi tersebut tak berhasil, sehingga proses hukum dilanjutkan. Kombes Iis Kristian, Juru Bicara Polda Sulawesi Tenggara, menyatakan bahwa pihaknya tidak menahan Supriyani sebagai bentuk penghormatan terhadap keadilan restoratif.
Ketakutan Meluas di Kalangan Guru
Ketua PGRI Sulawesi Tenggara, Abdul Halim Momo, mengatakan bahwa kasus ini membawa efek psikologis bagi para guru lainnya, yang kini merasa takut untuk mendisiplinkan murid. “Ini berbahaya. Kalau terus terjadi, dampaknya bisa pada kualitas pendidikan,” ujarnya. Karena itu, PGRI mendorong pemerintah dan DPR untuk menyusun undang-undang khusus yang melindungi hak-hak hukum guru dalam menjalankan profesi mereka.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, turut angkat suara dan menyebut bahwa kriminalisasi guru kerap terjadi dan harus dihentikan. Ia berencana untuk berbicara dengan Kepala Polri guna mencari solusi agar kasus serupa tidak lagi terjadi di masa depan.
Apakah Guru Kurang Mendapat Perlindungan Hukum?
Merujuk pada putusan Mahkamah Agung pada 2013 dalam kasus guru di Majalengka, Asep Iwan Iriawan menjelaskan bahwa sebenarnya terdapat yurisprudensi yang seharusnya dijadikan acuan. Dalam kasus tersebut, MA membebaskan guru yang mendisiplinkan muridnya dengan memangkas rambut gondrong murid tersebut.
Namun, kendati ada perlindungan hukum seperti Peraturan Pemerintah 74/2008 yang mengatur bahwa guru berhak mendapat perlindungan dalam tugasnya, kenyataannya guru kerap berada dalam posisi rentan.
Kasus Supriyani kini menjadi simbol dari ancaman pidana yang menghantui guru dalam tugas mendidik. Para pendukung Supriyani berharap keadilan dapat berpihak padanya serta mendorong pemerintah untuk memperkuat perlindungan hukum bagi para guru, agar mereka tidak lagi takut dalam menjalankan profesi mulia ini.