Taktik Pengemudi Fortuner: Pelat Palsu dan Penghindaran

pengemudi

News.darmediatama.com

Jakarta – Kasus pengemudi Toyota Fortuner yang bertindak arogan dengan mengklaim dirinya sebagai kerabat jenderal telah menarik perhatian publik dan aparat penegak hukum. Pengemudi tersebut, yang identitasnya disingkat sebagai PWGA, terbukti telah menggunakan pelat nomor TNI palsu untuk mengelabui penegakan hukum dan menghindari kebijakan ganjil-genap di ruas Tol Jakarta-Cikampek. Kasus ini mengungkap bagaimana PWGA memanfaatkan identitas palsu untuk menghindari sanksi.

Bacaan Lainnya

Menurut AKBP Titus Yudho Ully, Kasubdit Resmob Ditreskrimum Polda Metro Jaya, PWGA segera mengambil langkah-langkah licik untuk menghilangkan bukti setelah insiden tersebut menjadi viral dan menuai banyak perhatian. “Tak lama setelah insiden tersebut mencuat di media sosial, PWGA menghubungi seorang kerabat dekat dan mendapatkan saran untuk membuang pelat nomor palsu itu. Pelat tersebut kemudian dibuang di sebuah lokasi di Bandung, Jawa Barat, yang saat ini sedang kami selidiki,” ungkap Titus dalam wawancara dengan media lokal.

Lebih lanjut, Titus menjelaskan bahwa penggunaan pelat nomor TNI palsu oleh PWGA adalah sebuah tindakan yang dilakukan secara sengaja. “PWGA sengaja mengganti pelat kendaraannya dengan pelat dinas TNI palsu untuk mengelabui sistem ganjil-genap, memanfaatkan privilages yang seolah-olah ia miliki,” tambahnya.

memanfaatkan privilages yang seolah-olah ia miliki,” tambahnya.

Setelah kejadian yang memicu kemarahan publik dan diskusi di berbagai platform media, PWGA memilih untuk tidak kembali ke rumahnya. Sebagai gantinya, ia mencari perlindungan di rumah kakaknya yang berada di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, di mana ia bersembunyi dari kejaran polisi dan masyarakat.

Polisi saat ini sedang berusaha menangkap PWGA dan telah melakukan pencarian di beberapa lokasi yang terkait dengannya. Sementara itu, publik dihimbau untuk tetap waspada dan membantu aparat jika memiliki informasi terkait keberadaan PWGA atau kendaraannya.

Kasus ini menyoroti masalah serius terkait penyalahgunaan identitas dan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum, serta memicu diskusi tentang pentingnya integritas dan kejujuran dalam menggunakan simbol-simbol kenegaraan.

Tinggalkan Balasan